Senin, 06 Desember 2010

MAKALAH BMI


DAFTAR ISI
BAB 1. 1
1.1 Latar Belakang. 1
1.2 Perumusan Masalah. 2
1.3 Tujuan. 2
1.4 Manfaat 2
BAB II. 1
2.1 Gambaran Masa Orde Baru. 1
2.2 Pers Mahasiswa Terhadap Pergolakan Pada Masa Orde Baru. 4
BAB III. 1
3.1 Kesimpulan. 1
3.2 Saran. 2
DAFTAR PUSTAKA.. 3

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peran mahasiswa dalam mengkritisi kebijakan pemerintah memang tidak dapat dipungkiri. Pasalnya, mahasiswa adalah bagian dari masyarkat dengan predikat intelektual. seperti yang dikatakan Kaharudin (1999) bahwa mahasiswa adalah the most important society. Bermodal inisiatif dan kekritisan, kaum intelektual ini mampu menyoroti dan berperan serta aktif dalam menghadapi putusan dan kebijakan pemerintah.
Melirik kekeruhan bangsa pada zaman orde baru, ini merupakan titik nadir dari pertentangan dan pergerakan mahasiswa. Taufik (1977) mencatat, alam orde baru ini ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang dan dipelopori oleh pemerintah dengan Rencana-rencana Pembangunan Bertahap yang dikenal dengan nama Repelita.
Pembangunan tersebut merupakan dinamika perubahan menuju peningkatan taraf hidup masyarakat. seperti yang telah diketahui dalam melaksanakan pembangunan, masyarakat butuh mengetahui tentang informasi dan tujuan pembangunan nasional.
Dalam hal ini mahasiswa sebagai pusat peradaban memiliki peran penting dalam penyampaian gagasan, pendapat atau bahkan kritikan terhadap kebijakan yang dijalankan. Pergerakan mahasiswa sudah memili tempat tersendiri sejak zaman pra-kemerdekaan, Budi Utomo merupakan pelopor Kebangkitan Nasional 1908. Berangkat dari hal tersebut pers mahasiswa pada roda pembangunan orde baru menarik untuk ditelusuri.
“Rasa terlibat mahasiswa dengan masalah-masalah sosial politik yang dihadapi masyarakat umum tidaklah meragukan Sympaty, compassion selalu ada dalam diri mereka. Tingginya refleksi jurnalistik mereka cukup jelas dalam pemilijhasn berita-berita utama, editorial serta karikatur yang senantiasa diusahakan untuk sejalan dengan masalah masyarakat pada umumnya.” (Dhakidae, 1977, seperti dikutip oleh Supriyanto, 1998, halaman 24)
Orde baru mulai menata kembali perekonomian yang telah hancur pada masa Soekarno. Pada titik itulah peran pers mahasiswa dalam mencari, merumuskan dan menegakkan ideologi pembangunan (modernisasi) (Supriyanto, 1988).

1.2 Perumusan Masalah

  1. Bagaimana gambaran umum pers mahasiswa pada masa Orde Baru?
  2. Pers mahasiswa terhadap pergolakan pembangunan pada masa Orde Baru?

1.3 Tujuan

  1. Untuk mengetahui gambaran pers mahasiswa pada masa Orde Baru
  2. Untuk mengetahui sejauh mana pers mahasiswa mampu menyampaikan gagasan, kritikan, dan harapan terhadap kebijakan pemerintah pada masa orde baru.
  3. Untuk mengetahui pengaruh serta pergolakan antara pers mahasiswa dan pemerintah.

1.4 Manfaat

  1. Dengan hasil penelitian ini bagi kalangan akademisi diharapkan menjadi sumber informasi dan sebagai bahan acuan dalam menciptakan pers mahasiswa yang aspiratif dan oposisi yang bertanggung jawab terhadap apa yang disampaikannya.
  2. Bagi Pemerintah hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan dalam mengambil keputusan untuk membuat batasan dan memberi kebebasan pers mahasiswa dalam dinamikanya.
  3. Bagi masyarakat hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang keadaan pers mahasiswa pada masa orde baru dalam menyampaikan gagasan, kritikan dan harapan terhadap kebijakan pemerintah.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Gambaran Masa Orde Baru

Masa Orde Baru adalah masa di mana berlaku rezim otoriter. Era Kepemimpinan Soeharto adalah masa kepemimpinan dengan gaya militerisasi. Taufik (1977) mencatat, alam orde baru ini ditandai dengan kegiatan pembangunan di segala bidang dan dipelopori oleh pemerintah dengan Rencana-rencana Pembangunan Bertahap yang dikenal dengan nama Repelita.
Firdaus (2007) mengatakan bahwa kondisi dan kultur pada masyarakat pada masa itu telah berbeda. Mayarakat telah mampu memahami hakikat demokratisasi. Karena itulah gaya kepemiminan militerisasi yang ditunggangi Soeharto tertolak oleh budaya masyarakat. Gaya kepemimpinan ini menuai kritikan. Esensialnya, apa yang diklaim Soeharto dengan demokrasi pancasilanya hanyalah proyek hegemoni dan dominasi besar-besaran atas kesadaran masyarakat. Soeharto menggunakan militer sebagai alat efektif dalam menuai kebijakan.
Firdaus (2007) menambahkan, pada titik itutlah pers melihat bahwa dengan gaya kepemimpinan seperti itu akan mengancam kebebasan masyarakat. Pers menyadari juga bahwa kepemimpinan itu akan menghancurkan peran pentingnya ia sebagai salah satu pilar penyusun bangunan demokrasi. Hal ini berarti bahwa pola yang digunakan Soeharto kontradiktif dengan logika pers itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri pula hal ini juga berati pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi pancasila yang hegemonik dan dominatif.
Terlebih lagi peran serta mahasiswa dalam dunia jurnalistik mengabadikan protes-protes yang disodorkan terhadap kepemimpinan massa itu. Pers mahasiwa pada tahun 60-an sudah meninggalkan intelektualisme. Pers mahasiswa berubah menjadi media politik yang penuh dengan provokasi, agitasi, dan pengutamaan nilai-nilai kelompok. Hal ini memang sesuai dengan kebijakan politik Soekarno yang
memerintahkan agar semua organisasi mahasiswa – tempat sebagian besar pers mhasiswa berinduk – berafiliasi dengan partai (Supriyanto, 1998).
Seperti yang diungkapkan Siregar (1983) dalam Supriyanto (1998) menghadapi kondisi tersebut lahirlah Mahasiswa Indonesia, Harian KAMI, Mimbar Demokrasi dan Gelora Mahasiswa Indonesia dalam mengganyang kebijkaan politik Soekarno. Mereka mengebiri kebobrokan sistem poltik Demokrasi Terpimpin.
Mahasiswa Indonesia juga telah menjalankan fungsi lainnya yang boleh jadi lebih penting, yaitu berupa sumbangan bagi tegaknya sebuah ideologi Orde Baru. Selama hampir delapan tahun – hampir 400 penerbitan – Mahasiswa Indonesia secara teratur mengemukakan gagasan-gagasan yang intinya berupa keinginan mereka terhadap modernisasi dan pembangunan di Indonesia[i].
Raillon (1986) dalam Supriyanto (1998) juga mengatakan bahwa setelahnya pun mahasiswa balik mengkritik Orde Baru, setelah Pemilu tahun 1971. Memang sejak tahun 1970 berbagai gerakan mahasiswa mengacam tindakan korupsi serta efek-efek negatif pertama dari pertumbuhan ekonomi. Mahasiswa Indonesi mencoba menyalurkan dan mengarahkan protes-protes tersebut sampai Pemilu 1971, namun kemudian mahasiswa malah mengkritik pembangunan yang dirasakan tidak adil dan otoriter itu.
Akhirnya memang bulan madu Orde Baru dan mahasiswa berakhir pada tahun 1974. Meletusnya peristiwa Malari menjadi alasan bagi penguasa untuk menindak tegas mereka yang coba-coba jadi oposisi. Pemimpin-pemimpin mahasiswa diadili, Mahasiswa Indonesia dan Harian KAMI dilarang terbit bersamaan dengan enam media lainnya, yaitu mingguan Nusantara dan Eskpres, surat kabar Indonesia Raya, Abadi, Pedoman dan Jakarta Times (Supriyanto, 1998).
Dari sekian banyak penerbitan maasisa 1966-1974 yang paling terkemukan adlah Harian KAMI, Mahasiswa Indonesia, dan Mimbar

Demokrasi. Pembacanya meluas kalangan golongan menengah. Oplah masing-masing mencapai 70.000, 30.000, dan 48.000 eksemplar (Supriyanto, 1998).
Hasil Studi Siregar (1983) dalam Supriyanto (1998) terhadap ketiga media tersebut membenarkan bahwa pers mahasiswa saat itu memang berorientasi politik. Tabel 01 menunjukkan hal itu.
Tabel 01. Perbandingan Isi Pers Mahasiswa tahun 1966
Jenis Isi Mahasiswa Indonesia Harian KAMI Mimbar Demokrasi
  1. Politik
  2. Pendidikan
  3. Kebudayaan
  4. Ekonomi
  5. Hukum
  6. Olahraga
  7. Advertensi
  8. Lain-lain
56,83% 12,30%
9,43%
0,90%
-
0,75%
17,40%
2,39%
44,99% 6,73%
2,35%
8,80%
1,08%
2,76%
27,66%
5,63%
38,88% 32,05%
10,52%
5,62%
2,51%
-
5,86%
4,56%
Jumlah 100% 100% 100%
Sumber: Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Siregar (1983) seperti dalam Supriyanto (1998).
Setelah pemberanguaan terhadap delapan media berpengaruh apda peritiwa Malari, untuk beberapa saat pers mahasiswa mengalami masa tenang. Namun, kemuadian pelan-pelan pers mahasiswa mulai muncul kembali dnegan format baru. Karena itu pada tahun 1976 pers mahasiswa diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa. Misalanya, di Jakarta lahir Salemba (Universitas Indonesia), di Yogyakarta lahir Gelora Mahasiswa (Universitas Gadjah Mada), di Bandung lahir Kampus (Institut Teknologi Bandung) (Supriyanto, 1998).
Selanjutnya orientasi pers mahasiswa yang kuat dengan muatan politik bisa dilihat Tabel 02.
Tabel 02. Perbandingan Isi Pers Mahasiswa tahun 1978
Jenis Isi Salemba Gelora Kampus Mahasiswa
  1. Politik
  2. Pendidikan
  3. Kebudayaan
  4. Ekonomi
  5. Hukum
  6. Olahraga
  7. Advertensi
  8. Lain-lain
43,69%29,46% 15,69%
0,40%
1,92%
0,13%
6,19%
2,52%
26,09%36,85% 12,06%
2,13%
5,45%
0,40%
9,46%
7,56%
62,66%10,54% 6,42%
2,76%
0,50%
-
15,22%
1,90%
Jumlah 100% 100% 100%
Sumber: Pers Mahasiswa, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Siregar (1983) seperti dalam Supriyanto (1998).

2.2 Pers Mahasiswa Terhadap Pergolakan Pada Masa Orde Baru

Pada periode 1990-an, tidak banyak pers mahasiswa yang menonjol, apakagi memiliki tiras sampai puluhan ribu seperti Harian Kami. Juga tidak ada pers mahasiswa yang dibaca secara meluas di luar kampus seperti Salemba sesudah pembreidelan 1978. Meskipun demikian, di setiap kampus –khususnya di perguruan-peguruan tinggi yang sudah mapan—selalu ada penerbitan pers mahasiswa dengan tiras dan penyebaran yang beragam, entah di tingkat jurusan, fakultas, atau universitas. Entah isinya bersifat spesifik keilmuan atau bersifat umum.
Cara pengelolaan yang kurang profesional dan diberlakukannya kalender akademis dengan SKS yang ketat membuat penerbitan pers mahasiswa terbit seadanya. Jadwal penerbitan tidak teratur. Masalah klasik yang sering dihadapi adalah sulitnya memperoleh dana penerbitan dan regenerasi kepengurusan untuk mengelola pers mahasiswa. Iklim politik Orde Baru dengan sistem pendidikannya, yang sengaja dibuat agar mahasiswa lebih memusatkan diri pada studi dan mengurangi aktivitas lain
yang berbau politik, ikut andil dalam hal ini. Toh meski dengan kondisi demikian, tetap ada pers mahasiswa yang hadir.
Di UI, misalnya, dikenal Media Aesculapius (Kedokteran), Teknika (Teknik), Gita Pertala dan Buletin KAPA FTUI (diterbitkan kelompok pencinta alam Kamuka Parwata FTUI), Architrave (Jurusan Arsitektur), Media Elektro (Jurusan Elektro), Warta Yon UI (diterbitkan Resimen Mahasiswa Batalyon UI), Suratkabar Kampus Warta UI (tingkat universitas), Economica (diterbitkan Badan Otonom Economica FEUI), Mini Economica (diterbitkan Badan Otonom Economica FEUI), Suara Mahasiswa UI (tingkat universitas), Viva Justicia (Fakultas Hukum), Gaung (Jurusan Sastra Indonesia), Ekspresi (Sastra Indonesia), Slovanik (Sastra Rusia), Historia (Sejarah), Gong (Sastra Jawa), Go Fisip Go (FISIP), Preventia (Fakultas Kesehatan Masyarakat), dan lain-lain.
Di kampus lain dan kelompok mahasiswa lain, misalnya: Bilik (Yayasan Abu Dzarr al-Giffari, mahasiswa Universitas Nasional), Citra Patria (Universitas Tujuh Belas Agustus, Jakarta), Suara Ekonomi (Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila), Dinamika (STAIN Walisongo, Salatiga), Didaktika dan Transformasi (IKIP/Universitas Negeri Jakarta), Spektrum dan Nurani (IISIP), Teknokra (Universitas Lampung) dan Republik (Fakultas Sospol Universitas Lampung), Pralaya (Universitas Bandar Lampung), Raden Intan (IAIN Lampung), Himmah (Universitas Negeri Yogyakarta), Balairung dan Bulaksumur (UGM, Yogyakarta), Ekspresi (Universitas Negeri Yogyakarta), Sintesa (Fisipol UGM), Pijar (Filsafat UGM), Media Publica (Fikom Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama, Jakarta), Boulevard dan Ganesha (ITB, Bandung), Detak (Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh), Genta Andalas (Universitas Andalas, Padang), Suara USU (Universitas Sumatra Utara, Medan), dan banyak lagi.
Namun berbagai pers mahasiswa era 1990-an ini sudah sangat berbeda dengan pers mahasiswa era sebelumnya, khususnya sebelum 1970-an. Pers mahasiswa sekarang dilihat dari orientasi politik pengelolanya telah mengalami pergeseran. Pada generasi 1908, 1928,
1945, pengelola pers mahasiswa menjadikan medianya benar-benar sebagai alat perjuangan politik melawan penjajahan pihak luar. Pada saat yang sama, para pengelolanya juga aktivis-aktivis politik di tingkat nasional. Jadi kepentingan politik sangat mendominasi cara pengelolaan pers mahasiswa waktu itu.
Hal yang hampir serupa dimainkan oleh pengelola pers mahasiswa periode 1966 – 1971/74. pers mahasiswa seperti Harian Kami, Mimbar Demokrasi, Mahasiswa Indonesia waktu itu merupakan alat perjuangan untuk meruntuhkan Orde Lama. Para pengelolanya adalah orang muda yang pada masa Demokrasi Terpimpin tertekan aspirasi politiknya. Kaum muda yang umumnya dicap PSI-Masyumi ini memanfaatkan momentum sesudah peristiwa G30S, untuk menyalurkan aspirasi politik mereka dan terlibat aktif bersama Angkatan Darat untuk meruntuhkan sistem Demokrasi Terpimpinnya Soekarno. Jadi dasar aktivitasnya di pers mahasiswa adalah kesamaan aspirasi politik.
Pergeseran mulai terjadi pada pers mahasiswa periode 1971/74 1980, seperti Salemba, Gelora Mahasiswa, dan Kampus. Para pengasuh pers mahasiswa ini berasal dari mahasiswa yang pada mulanya didasari minat pada dunia jurnalistik. Karena latar belakang semacam itu yang dominan, keterikatan mereka pada pers mahasiswa lebih banyak oleh kesamaan minat pada jurnalistik. Sedangkan kritik sosial yang bebas, tanpa harus memihak kubu politik tertentu, ditempatkan sebagai fungsi utama penerbitannya.
Tampaknya ini sejalan dengan konsep gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral yang mulai dilontarkan pada 1970-an, di mana kritik sosial yang dilancarkan mahasiswa tidak dilandasi keinginan mahasiswa untuk memperoleh kursi kekuasaan. Kecenderungan ini tampaknya berlanjut pada pers mahasiswa periode 1980-an dan 1990-an. Para pengelolanya berminat pada dunia jurnalistik, namun tidak punya interest untuk duduk di kursi kekuasaan lewat aktivitas di pers mahasiswa. Dengan demikian, dari segi independensi sikap dan keberpihakan politik, pengelola pers
mahasiswa mulai generasi 1971/74, 1980-an, dan 1990-an relatif lebih independen dan bebas, serta lebih heterogen aspirasi politiknya.
Warna gerakan prodemokrasi, yang tidak lagi berbasis di kampus, juga mewarnai pers mahasiswa 1990-an. Ini terlihat, misalnya, dari Kabar dari Pijar yang diterbitkan Yayasan Pijar (Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi). Dalam mencoba menerobos kebuntuan, sejumlah lembaga pers mahasiswa melakukan kerjasama pelatihan jurnalistik dengan organisasi profesi wartawan yang kritis terhadap Orde Baru, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang didirikan para jurnalis muda idealis pada 7 Agustus 1994. Banyak aktivis pers mahasiswa juga terlibat dalam penyebaran dan penjualan Suara Independen, buletin AJI yang dianggap ilegal oleh pemerintah Soeharto waktu itu. Khususnya ini terjadi pada periode 1995-1997.
Menghadapi tekanan rezim dan adanya kesulitan dalam berkiprah secara terbuka dan formal, mendorong AJI untuk secara sadar membangun jaringan kerjasama dengan para aktivis pers mahasiswa di berbagai kampus, khususnya di kota-kota besar Pulau Jawa. Hal ini karena para aktivis AJI waktu itu menganggap peran pers mahasiswa cukup strategis dalam menghadapi rezim Soeharto.
Para aktivis pers mahasiswa juga dipandang oleh AJI sebagai kader-kader atau calon jurnalis potensial, yang suatu saat akan betul-betul terjun secara profesional dan mewarnai dunia pers Indonesia yang sudah terlanjur dikooptasi oleh penguasa Orde Baru lewat organisasi “wadah tunggal” semacam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). PWI Pusat di bawah Ketua Umum Sofjan Lubis dan Sekjen Parni Hadi, dan PWI Jakarta di bawah Tarman Azzam, waktu itu praktis sudah menjadi alat rezim dengan sikapnya yang “memaklumi” dan tidak mengecam pembreidelan Tempo, DeTik, dan Editor, pada 21 Juni 1994.
Beberapa hari sebelum penembakan mahasiswa Universitas Trisakti, 12 Mei 1998, para aktivis pers mahasiswa di UPN Veteran juga mengadakan pendidikan pers bekerjasama dengan AJI. Salah satu materinya adalah bagaimana cara membuat siaran pers yang efektif,
sehingga agenda-agenda gerakan mahasiswa 1998 bisa lebih tersosialisasi di tengah masyarakat. Selama periode 1997-1999, AJI juga menjalin kerjasama dengan pers mahasiswa di Sekolah Tinggi Theologi, UPN Veteran, IISIP Lenteng Agung, Unitomo Surabaya, Unila Lampung, IAIN Jakarta, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Hasanuddin Ujungpandang, dan dengan Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jabotabek (FKSMJ).
Kerjasama organisasi jurnalis profesional dan aktivis pers mahasiswa itu ternyata kemudian terus berlanjut. Yayasan Jurnalis Independen (YJI), yayasan nirlaba yang didirikan oleh sejumlah pendiri AJI pada 12 Januari 2000, menjalin kerjasama berkesinambungan dengan aktivis mahasiswa Universitas Terbuka (UT). YJI bertujuan menumbuhkembangkan jurnalis yang profesional, kritis dan independen.
Para aktivis YJI memberikan pelatihan pers secara gratis untuk mahasiswa UT, melalui Forum Komunitas Mahasiswa dan Masyarakat Internet (FKM2I), yang membuat media online, yakni MAMAnet (Majalah Mahasiswa Internet online) di www.kbi-ut.com. Penggunaan media Internet adalah perkembangan teknologi kontemporer yang dimanfaatkan oleh para aktivis pers mahasiswa.
Di lingkungan Universitas Indonesia, YJI juga menjalin kerjasama dengan Senat Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, dengan mengadakan seminar dan pelatihan jurnalistik di kampus UI Depok, 14-15 November 2001. Seperti pola-pola kerjasama sebelumnya, seluruh materi dan tenaga instruktur disediakan oleh YJI. Acara yang diikuti lebih dari 150 orang ini lebih dari separuh pesertanya berasal dari luar UI, seperti dari UNJ dan IISIP. Ada juga peserta yang bukan mahasiswa (SMA), bahkan tiga jurnalis suratkabar Suara Kota yang berbasis di Depok ikut menjadi peserta.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peran serta mahasiswa dalam dunia jurnalistik mengabadikan protes-protes yang disodorkan terhadap kepemimpinan massa itu. Pers mahasiwa pada tahun 60-an sudah meninggalkan intelektualisme. Pers mahasiswa berubah menjadi media politik yang penuh dengan provokasi, agitasi, dan pengutamaan nilai-nilai kelompok. Hal ini memang sesuai dengan kebijakan politik Soekarno yang memerintahkan agar semua organisasi mahasiswa – tempat sebagian besar pers mhasiswa berinduk – berafiliasi dengan partai (Supriyanto, 1998).
Raillon (1986) dalam Supriyanto (1998) juga mengatakan bahwa setelahnya pun mahasiswa balik mengkritik Orde Baru, setelah Pemilu tahun 1971. Memang sejak tahun 1970 berbagai gerakan mahasiswa mengacam tindakan korupsi serta efek-efek negatif pertama dari pertumbuhan ekonomi. Mahasiswa Indonesi mencoba menyalurkan dan mengarahkan protes-protes tersebut sampai Pemilu 1971, namun kemudian mahasiswa malah mengkritik pembangunan yang dirasakan tidak adil dan otoriter itu.
Warna gerakan prodemokrasi, yang tidak lagi berbasis di kampus, juga mewarnai pers mahasiswa 1990-an. Ini terlihat, misalnya, dari Kabar dari Pijar yang diterbitkan Yayasan Pijar (Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi). Dalam mencoba menerobos kebuntuan, sejumlah lembaga pers mahasiswa melakukan kerjasama pelatihan jurnalistik dengan organisasi profesi wartawan yang kritis terhadap Orde Baru, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang didirikan para jurnalis muda idealis pada 7 Agustus 1994. Banyak aktivis pers mahasiswa juga terlibat dalam penyebaran dan penjualan Suara Independen, buletin AJI yang dianggap ilegal oleh pemerintah Soeharto waktu itu. Khususnya ini terjadi pada periode 1995-1997.
Menghadapi tekanan rezim dan adanya kesulitan dalam berkiprah secara terbuka dan formal, mendorong AJI untuk secara sadar membangun jaringan kerjasama dengan para aktivis pers mahasiswa di berbagai kampus, khususnya di kota-kota besar Pulau Jawa. Hal ini karena para aktivis AJI waktu itu menganggap peran pers mahasiswa cukup strategis dalam menghadapi rezim Soeharto.

3.2 Saran

Saran untuk mengambil fokus dalam membahas masalah pergerakan dan pers mahasiswa. Karena masalah yang terjadi terlalu kompleks dalam berbagai aspek. Jadi harapan ke depannya, semoga dapat lebih terarah ke satu fokus dan memperbanyak literature dalam
mengungkapakan kebenaran.
[1] Hal ini terdapat pada Supriyanto (1998) yang mengutip hasil studi mendalam Raillon (1986:332) terhadap Mahasiswa Indonesia. Selengkapanya dapat dilihat pada Politik dan Ideologi Mahasiwa Indonesia, Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1986-1974, LP3ES, Jakarta, 1985.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Penerangan RI. 1988. Peranan Pers Menuju era Masyarakat Informasi. Departemen Penerangan RI: Jakarta
Supriyanto, Didik. 1998. Perlawanan Pers Mahasiswa Protes Sepanjang NKK/BKK. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Taufik, I. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Trinity Press: Jakarta
http://aguslenyot.multiply.com/journal/item/2
http://mengintip-dunia.blogspot.com/2007/11/jejak-pers-di-masa-orba-dan-reformasi.html
http://lpmkentingan.wordpress.com/
http://penaonline.wordpress.com/2007/12/23/sejarah-pers-mahasiswa-indonesia/
http://pipmi.tripod.com/apa_itu_pipmi.htm
http://www.balairungpress.com/content/tentang-balairung

MK.Berfikir Menulis Ilmiah Hari/Tgl: Senin, 21 Desember 2009
Urgensi Pers Mahasiswa
Oleh:
Dian Hermawati I34080074
Dosen:
Pudji Mulyono
Asisten Dosen:
Rizal Razak
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Intitut Pertanian Bogor
2009

0 komentar:

Posting Komentar

Download youtube Video

ShoutMix chat widget
 

© Copyright by BERBAGI ILMU DAN INFORMASI | Template by BloggerTemplates | Blog Trick at Blog-HowToTricks