Minggu, 05 Desember 2010

Pesan Leluhur


Bangsa Batak memang bangsa yang unik. Ini dikemukakan oleh Marco Polo pada saat pengelanaannya di Sumatra pada tahun 1290. William Marsden bekas Gubernur Bengkulu dari Kerajaan Inggeris menjadi ingin membuktikannya, lalu dia mengadakan penelitian dan mengatakan memang unik dan berbeda dengan bangsa lainnya yang ada di pulau Sumatra, dan dia juga mengatakan bahwa Bangsa Batak dianggap sebagai bangsa yang paling asli di Sumatra. Kemudian pada saat masuknya pengaruh asing ke Tanah Batak maka banyak perjalanan sejarahnya yang memang unik. Hal ini ditandai dengan masuknya Islam dan Kristen yang memang unik. Keunikan masih berlanjut pada saat penjajahan menguasai Tanah Batak. Jaman kemerdekaanpun memiliki perjalanan sejarahnya yang unik. Dan yang paling unik adalah sekarang ini bahwa banyak orang Batak yang tidak Batak lagi. Ini kan memang betul-betul unik lho….
Ini Satu Cerita Lugu
Ompu Raja Ijolo, martungkot sialagundi. Pinungka ni omputa na parjolo, hita ihuthon ma di pudi. (Baginda Raja diraja, bertongkat dari kayu sialagundi, yang sudah dititahkan oleh leluhur sejak jaman purba, wajib diikuti orang-orang dikemudian hari).
Pantun Nasihat (umpasa) ini kebetulan dipinjam dari bahasa Batak Toba tetapi pemahamannya harus menjadi penuntun bagi keturunan leluhur Bangsa Batak. Bila diterjemahkan dengan pengartian yang luas maka pantun nasihat ini menyampaikan suatu pesan yang harus dipatuhi oleh setiap keturunan Bangsa Batak yang hidup pada masa ini dan sampai masa yang akan datang. Sudah banyak pergeseran adat istiadat terutama dilakukan diperantauan sehingga ada kecenderungan penolakan terutama dari generasi muda. Baru sekitar 200 tahun Bangsa Batak dimasuki pengaruh bangsa asing akan tetapi sudah banyak nilai-nilai budaya yang hilang dan dihilangkan, sementara budaya tercipta dari kebaikan dan kearifan pada tatanan kemasyarakatnya. Haruskah kita menunggu hilangnya identitas Batak?
Apabila diumpamakan seorang anak yang sudah pantas untuk marjalang (merantau), maka dengan berbekal apa yang sudah dibekali secara turuntemurun, dia akan mampu melintasi gunung, menuruni lembah, menyeberang lautan dan membaur dengan orang-orang kebanyakan. Kemudian seorang anak akan mengeluarkan jurus pertamanya sebagaimana perumpamaan berikut: “Tinintip sanggar bahen huruhuruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan.”  Pengertiannya kira-kira diartikan sebagai berikut: “Sangkar dibuat untuk pengeraman, harus saling bertegur sapa lalu saling berkenalan”. Seorang Batak ternyata tidak pernah datang kesuatu tempat dengan bersembunyi-sembunyi. Dia selalu memperlihatkan siapa dirinya walau dipelosok mana atau dilingkungan yang asing sama sekali, akan selalu memperkenalkan siapa dirinya. Prinsip ‘datang tampak muka, kembali tampak punggung memang ciri khas seorang Batak. Dengan jurus leluhur yang sudah melekat ini maka seorang Batak akan mendapatkan teman yang banyak.
Seiring banyaknya pertemanan maka seorang Batak akan mencari siapa saudaranya, biasanya saudara semarga agar dia merasa tidak sendirian di negri yang baru didatanginya. Namun walaupun dia sudah menemukan saudara sendiri bukan berarti dia akan meninggalkan para sahabatnya. Hal ini terlihat dari pepatah berikut ini: “Jonok dongan partubu, jonokan dongan parhundul” yang diartikan menjadi, “Akrab teman semarga, masih lebih akrab bersahabat karib”. Sifat yang mendasar dari orang Batak ini membuat persahabatannya diluar teman se-suku atau se-marga akan tetap langgeng.
Masuk di lingkungan baru tentusaja berjumpa dengan penguasa, atau yang dituakan dikawasan itu. Rasa hormat dan penghormatan tentu ditunjukkan oleh seorang Batak. Apabila ada suatu instruksi atau kewajiban yang wajar maka seorang Batak akan patuh tanpa pamrih demi kebersamaan disuatu lingkungan. Hal ini terlihat dari pepatah yang selalu diajarkan kepada seorang Batak seperti “Baris-baris ni gaja dirura Pangaloan, molo marsuru raja dae do so oloan” yang artinya kira-kira, “Gajah berbaris-baris di lembah Pangaloan, kalau raja yang menyuruh tak mungkinlah dilawan.” Disini terlihat bahwa seorang Batak selalu bersikap tanpa pamrih apabila memang sewajarnya sesuai hierarkinya, karena dalam budaya Bangsa Batakpun berlaku yang disebut Dalihan Natolu dan Tarombo yang menyiratkan bahwa ada posisi kedudukan yang saling bergantian dalam tatanan kemasyarakatan.  Bahkan seorang yang dituakan atau disebut raja harus diagungkan dengan sesungguhnya dan bukan hanya manis dibibir. Hal ini terlihat dalam petuah berikut, “Dijolo raja sipareahan, di pudi sipaimaon” yang diartikan “Bila raja di depan harus diagungkan, dan bila dibelakangpun harus dinantikan.” Sikap ini memang benar-benar dipraktekkan oleh seorang Batak, karena mereka akan merasa malu bila dikatakan seperti petuah berikut, “Unang songon ulubalang so mida musu” yang artinya bahwa seorang Batak tidak boleh seperti hulubalang yang tidak melihat musuh, beraninya hanya dibelakang layar.
Konsistensi sikap seorng Batak memang tidak bisa dianggap remeh. Sikap gentleman sudah menjadi pandangan umum bagi seorang Batak diantara suku-suku lainnya. Pergaulan dengan banyak kalangan tentu membawanya bermuara pada kata sepakat, se-ia sekata, berjanji dan bahkan sumpah merupakan sikap yang selalu dijunjung tinggi dan terlihat pada petuah berikut, “Habang ambaroba paihut-ihut rura, Padan naung pinaboa ndang jadi mubauba.”  Yang diartikan, “Burung ambaroba terbang melintasi lembah, sumpah yang sudah seiasekata tidak boleh dirubah”
Banyak teman akan banyak keberuntungan, tetapi banyak pula tantangan dan pertentangan. Berbisnis memulai suatu kegiatan dengan keuntungan dan kerugian adalah bagiannya. Terdampar diperantauan membuat akal dan pikiran terkadang berubah menjadi kemarahan dan keberanian, tetapi hati tidak boleh berbohong bahwa kepasrahan sering menjadi keputusan yang tak sampai terlihat di wajah, maka petuah berikut sering menjadi peluluh hati seorang Batak, “Niarit tarugi pora-pora, molo tinean uli, tong do tenon dohot gora.” Yang diartikan sebagai “Diarit batang nibung untuk menumbak ikan tawes, kalau pernah beruntung harus siap pula mengalami apes”.
Kadang kadang seorang Batak memang jatuh terpuruk dalam kehidupan perekonomiannya akan tetapi biasanya dia akan berguru dari pengalaman dan hatinya akan mampu disabarkan dengan petuah berikut, “Agia pe lapalapa asal di toru ni sobuon, agia pe malapalap asal ma dihangoluon”. Petuah ini diartikan menjadi “Walau hidup bagai kayu bakaran asalkan dibakar diapi yang marak, walaupun mendapat kerja serabutan asalkan masih bisa hidup bergerak”. Sakit bagaimanapun mampu dialami seorang Batak karena merasa masih ada harapan selama hayat dikandung badan, dan biasanya mereka menghibur diri dengan petuah, “Diginjang bulung botik binoto do paetna, bunipe parsisiraan binoto do assimna” yang diartikan “Walau daun pepaya ada diatas pohon tetapi kita tau rasanya pahit dan walaupun garam tersimpan tersembunyi kita taupula rasanya asin” yang bermakna bahwa hidupnya sudah pernah merasakan enak tak enak dalam perjalanan hidupnya.
Kehidupan memang berputar bagaikan roda pedati, yang kadang di atas dan kadang dibawah silih berganti. Demikian pula siorang Batak yang akibat ketekunan dan keyakinan diri untuk menjalani kehidupannya maka harapan hati berwujud kepada pencapaian seperti yang dipesankan oleh pepatah berikut, “Manuk mirasialtong molo martubi monang-monang, salpu do angka parungkilon jala ro do parsaulian pansamotan”. Diartikan sebagai, “Ayam simerah hitam kalau bersabung selalu menang, sudah lewat masa kelam dan datang pula rejeki berkelimpahan.”. Kepercayaan diri siorang Batak meningkat seiring membaiknya rejeki kehidupannya, maka diapun berani melangkahkan jejak kehidupannya.
Siorang Batak sudah pantas untuk berumah tangga, tetapi sudah lama jauh dari kampung halaman untuk mempersunting siputri paman. Seorang putri disanding dari perantauan dan sudah pas menjadi pasangan, lalu pamanyapun menyambut dengan memberi petuah seperti berikut, “Hot pe jabu i sai tong do margulang-gulang, sian dia pe berei mangalap boru i sai hot do i boru ni tulang”. “Walaupun rumah itu kokoh berdiri tetapi tetap saja ada bergoyang, darimanapun ponakanku mempersunting istri tapi dia tetap sebagai putri paman tersayang.” Maka jadilah siorang Batak mempersunting istri dan dianggap pula sebagai putri si paman, lalu mereka diberkati dengan satu petuah, “Binsar mataniari poltak matani bulan, sai tubu madihamu boru namalo mansari dohot anak nagabe raja panungkunan.” Yang diartikan, “Matahari terbit dipagi hari, malam hari diterangi rebulan, semoga kau mendapat putri yang pandai mencari (harta) dan anak yang menjadi pengaduan.” Kata-kata berkat dari paman akan menjadi berkat yang jadi kenyataan. Pasangan siorang Batak menjadi berkelimpahan harta dan mendapat keturunan seperti yang dipetuahkan dahulu kepada mereka, “Bintang narumiris tu ombun na sumorop, anakmuna pe riris, boru pe tung torop.” Yang diartikan sebagai, “Bintang bertaburan embun berarakarakan, semoga anakmu lahir berturutan dan putrimupun banyak beriringan.” Keinginan untuk memiliki banyak anak adalah pesan leluhur tetapi orang Batak malah menyangkal perintah leluhur sehingga Batak sebagai bangsa menjadi tetap kecil dalam jumlah, maka jadilah Batak tetap sebagai bangsa yang terpinggirkan.
Jadilah keluarga siorang Batak mempunyai banyak keturunan dan hartapun berlimpah karena suami dan istri memang sangat menghormati orang tua dan mertua sehingga rejeki bertambah-tambah, dimana semuanya terjadi karena mengikuti petuah seperti berikut: ”Tinaba hau toras bahen sopo di balian, naburju na marnatoras ingkon dapot parsaulian.” Yang diartikan sebagai berikut, “menebang kayu harus yang sudah tua supaya bagus untuk pondok di ladang, orang yang baik berorang tua akan mendapat harta lagi terpandang,”.
Siorang Batak membaur dengan kerabat dan sahabat diatas tatanan adat istiadat. Saling menghormati satu sama lainnya, menjadi kekompakan yang dicemburui oleh banyak orang. Keakraban hubungan persahabatan dan kekerabatan berdasarkan falsafah yang dimengerti bersama yang disebut Dalihan Natolu. Hubungan kekerabatan yang satu marga masih dianggap sebagai saudara sekandung yang disebut sebagai dongan sabutuha (teman satu perut) yang mengartikan harus kenyang dan lapar bersama. Hubungan kekerabatan yang unik memampukan orang Batak berkata untuk sesama dengan sebutan “mangkuling do mudar” yang diartikan bahwa darah yang mengalir dalam tubuh memberi sinyal adanya hubungan kekerabatan dengan sesama orang Batak walaupun belum saling berkenalan. Oleh karena itu ada petuah yang mengatakan, “Habang amporik mangalumbalumba solu, songgop siputi dipunsu hau natimbo, Adong do patik sian dalihan natolu, mangaruhuti sude angka tarombo” yang diartikan, “Burung pipit mengejar sampan yang berlalu, burung kepala putih bertengger diujung galah, Ada hukum yang diatur pada Dalihan Natolu, dan berlaku berdasarkan urutan silsilah.”
Keluarga Batak yang sudah banyak anak, harta berlimpah lagi terpandang merupakan kebahagiaan yang tiada tara dan merupakan keinginan dan harapan setiap orang. Sikeluarga Batakpun mencapai umur tua dalam kebahagiaan, sampai suatu saat hayat dijemput malaikat tetap masih mendapatkan berkat sebagaimana dalam pernyataan penghormatan berikut. “Marurat ibana bagas tu toru, marbulung timbo tu ginjang, mardangka dao tu siamun, marranting dao tu hambirang.”dan diartikan sebagai, “Berakar dalam sampai ke bawah, berdaun ke atas sampai menjulang, jauh kekiri ranting mengarah, jauh kekanan berdahan dan bercabang.”. Pernyataan ini menjadi puncak pemberitaan kepada umum bahwa seorang Batak yang mendapat dan menjalankan petuah dari para leluhur tentu akan terwujut harapan dan cita-cita dan pengakuan itupun tidak perlu didengar seorang Batak semasa hidupnya tetapi dalam kematiannya tetap menjadi terhormat.
Demikian satu sisi kehidupan seorang Batak yang menggambarkan rangkaian kehidupannya dari mulai terlahir di tanah leluhur Bonapasogit (Ibu Pertiwi), dibekali petuah-petuah manjur dari doa para leluhur untuk menjalani kehidupannya mendapat kebahagiaan di tanah perantauan yang dahulu disebut tano parhatobanan (tanah perbudakan). Sekarang sudah banyak yang tak ingat kepada ibupertiwi dan malah lebih senang di tanah perbudakan.
Kenyataan yang ada muncul dikalangan masyarakat Bangsa Batak sekarang ini bahwa banyak diantara mereka seolah sudah terputus dari leluhurnya. Dalam kurun waktu 200 tahun sejak bersentuhan secara intensif dengan peradaban bangsa luar, ada beberapa tahapan tahapan yang merubah peradaban Bangsa Batak, sehingga Bangsa Batak tidaklagi menjadi satu kesatuan sebagaimana yang pernah dicatat oleh petualang Eropah seperti Marco Polo di abad-13 atau William Marsden di abad-18.

By Batakone.Wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar

Download youtube Video

ShoutMix chat widget
 

© Copyright by BERBAGI ILMU DAN INFORMASI | Template by BloggerTemplates | Blog Trick at Blog-HowToTricks