Kamis, 20 Januari 2011

Bahasa dan Budaya/Fungsi Bahasa/Hakikat Bahasa/Keistimewaan Bahasa/Keterampilan Berbahasa















Bahasa dan Budaya

Bahasa dan budaya merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan, karena bahasa merupakan cermin budaya dan identitas diri penuturnya. Hal ini berarti, apakah bahasa dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya?, sehingga bahasa dapat menentukan kemajuan dan “mematikan” budaya bangsa, itulah ungkapan Najmudin Ansorullah dalam tulisangnya yg berjudul Transformasi Budaya dalam bahasa.
Kepunahan bahasa?
Banyaknya variasi penuturan bahasa daerah tertentu disebabkan terjadinya perbedaan budaya yang cukup kuat. Namun, menurut Prof. Dr. Arief Rahman dalam penelitiannya, di Kalimantan, misalnya, satu dari 50 bahasa tak lagi digunakan. Di Sumatera, dari 13 bahasa dua di antaranya kritis dan satu punah. Di Sulawesi, satu dari 110 bahasa telah lenyap, dan 36 dalam kondisi terancam. Di Tomor, Flores Bima dan Sumba, tercatat 50 bahasa masih bertahan, tapi delapan di antaranya terancam. Di Papua dan Halmahera, dari 271 bahasa daerah, 56 di antaranya hampir punah. Sementara itu, di Jawa tidak mengalami kepunahan (berbagai sumber).
Sungguh ironis, ketika daerah-daerah yang masih terpelihara dan sangat potensial dalam perkembangan kebudayaannya justru bahasa daerahnya terancam, bahkan sebagiannya punah. Mengapa menurut Prof Dr. Arif Rahman (Kompas, 22/5) di Jawa tidak? Bukankah institusi-nstitusi pendidikan, khususnya sekolah sebagai lembaga formal yang berwenang melaksanakan proses transformasi pengetahuan dan teknologi atau arus globalisasi dituduh sebagai tempat dimulainya pengikisan budaya daerah secara sistematis? Sementara itu, hampir semuanya tersedia di Jawa.
Penelitian yang dilakukan salah satu dosen STISI Bandung (maaf lupa namanya) dengan mengacu pada bahasa dalam Pantun Bogor, bahwa di Bogor Jawa Barat sekira tahun 1990-an bahasa asli daerah hampir sudah tidak bisa ditemukan. Secara geografis, Jawa Barat memiliki kedekatan dengan Jakarta yang nota bene bergaya hidup modern, karena itu “berseliweran” bahasa dan budaya antara kota dan desa.
Wajar saja, apabila laporan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa volume migrasi ke Jawa Barat mengalami peningkatan. Tahun 1980 jumlah migrasi seumur hidup di Jawa Barat sebanyak 963.372 orang. Tahun 1990-an mengalami peningkatan mencapai 2.408.626 orang. Kemudian, tahun 2000 meningkat sebanyak 3.271.882 orang (PR, 29/08/2006).
Selain itu, jika dihubungkan dengan penelitian Imelda (Inovasi, Vol. 8/XVIII, 2006) bahwa di wilayah Indonesia, hilangnya bahasa secara tiba-tiba mungkin saja terjadi karena wilayah Indonesia rawan bencana alam (tempat pertemuan tiga lempengan dunia: Eurasia, Indo-Australia, dan lempeng Pasifik). Sepanjang tahun 2000-2006, Indonesia setidaknya mengalami tujuh kali gempa bumi dahsyat (lebih dari 6,2 pada skala Richter) dan dua kali tsunami. Salah satunya termasuk dalam kategori gempa terdahsyat di dunia. Gempa dan tsunami di Aceh berkekuatan 9,3 skala Richter yang memicu tsunami dengan ketinggian 10 meter, dalam catatan Owen (National Geographic, 2005) telah memakan korban meninggal dunia mencapai jumlah 240.000 orang di Aceh dan Nias. Bencana lain ialah gempa di Yogyakarta dan gempa tsunami di Selatan Jawa. Dua bencana yang terakhir ini juga menewaskan ribuan orang.
Dari jumlah korban tersebut muncul sebuah prediksi mengenai hilangnya suatu desa dan penduduknya, terutama pada desa yang berada di sepanjang pantai yang tersapu tsunami saat gempa dan tsunami Aceh. Menurut laporan Cahanar (2005: 215) bahwa 70% penduduk kota Calang tewas dalam bencana tersebut, yang menurut data statistik Pemerintah Daerah NAD dari 86.000 jumlah penduduk yang tersisa hanya 25.800 orang di Kota Calang.
Kejadian ini juga secara otomatis “dapat” berarti hilangnya keanekaragaman bahasa di Indonesia. Hilangnya bahasa berarti hilangnya budaya bangsa yang merupakan kerugian tak terhitung nilainya.
Meski data-data di atas memiliki perbedaan pernyataan dalam melihat kondisi bahasa di Jawa, tapi hal itu dapat menunjukan sebaliknya bahwa problem bahasa di Jawa sangat kompleks dan seharusnya mudah terancam. Kiranya, pernyataan Prof. Arief Rahman (Kompas, 22/05), bahwa di Jawa tidak terjadi kepunahan atau penelitian Imelda (2006), yang menyatakan bahwa jumlah penutur bahasa-bahasa nusantara semakin ke Timur semakin sediki perlu ditinjau ulang.
Meski data-data yang disajikan kedua pakar tersebut cukup argumentatif, tapi bukan berarti data-data itu sudah dianggap final. Kemungkinan kepunahan bahasa bisa saja terjadi karena masyarakat sudah sekian lama melunturkan budayanya. Dengan melihat salah satu sisi dalam pemakaian “nama” dan gelar kepemimpinan saja dapat mempengaruhi budaya masyarakat atau sebaliknya.
Misalkan, bahasa Sunda yang memiliki berbagai dialek dan susunan kata bahasa kerap kali dikaburkan penuturnya dengan objek atau subjek yang berbeda. Istilah “abah” sering ditujukan pada kakek. Padahal, kata “abah” adalah kata serapan dari bahasa Arab yang ditujukan untuk orang tua (bapak), yaitu “aba” atau “abun”, “ya’ba”, “abah”.
Di Tasikmalaya, misalnya, istilah “abah” ditemukan “abah sepuh” (bapak tua) dan “abah anom” (bapak muda). Sementara itu, di Banten lebih menggunakan “bapak kolot” (kakek). Kiranya, penuturan kata seperti itu dalam masyarakat jawa bukan dilihat hanya faktor usia, tapi dinisbatkan kepada orang-orang yang memang “dituakan” masyarakat, misalnya karena menjadi panutan.
Berbeda dengan kata “abu” (bukan nama seseorang) yang bersinonim dengan kata “embah”. Di Bogor, kata “abu” ditujukan untuk perempuan yang sudah tua (nenek). Penuturan seperti itu mungkin sudah menyalahi aturan bahasa, tapi itulah kenyataannya. Seperti halnya dalam panggeugeut (bhs Sunda), nama “Muhammad” menjadi “Mamat” (kadangkala Memet) yang dilihat dari maknanya akan terlihat jauh. “Muhammad” artinya “terpuji” berarti pula diambil dari nama nabi, sedangkan “Mamat” artinya “mati”. Dilihat dari akar bahasanya (bahasa Arab), sebenarnya kata “umi” dan “mamah” memiliki persamaan yang berarti “ibu”. Kata “ibu” bisa juga penyimpangan dari kata “abu”, begitu seterusnya.
Itulah fakta kerancuan bahasa yang terjadi di sekitar kita pada umumnya. Dan apabila dikatakan telah terjadi kepunahan, sesungguhnya telah lama terjadi. Pergaulan masyarakat Indonesia dengan suku-suku bangsa dan agama di dunia masa lalu telah mengakibatkan masyarakat banyak menyerap bahasa Asing ke dalam bahasa sehari-hari, termasuk untuk identitas diri. Misal, karena masuknya (para pedagang Arab) Islam abad ke-9 H/14 M, masyarakat banyak mengubah nama ke-Arab-arab-an.
Oleh karena itu, mengapa harus phobia dengan kehadiran bahasa-bahasa asing kalau memang budaya masih tetap dipertahankan? Atau apakah ada ketidakberesan dalam budaya kita?
Meski masyarakat masih banyak menggunakan bahasa daerah dalam penggunaan nama, tapi banyak yang mengkombinasikan bahasa daerah dengan bahasa asing, karena pengaruh asimilasi dan akulturasi budaya masyarakat dengan bahasa daerah lain atau bangsa asing. Penyerapan bahasa seperti itu berlanjut sampai sekarang, sehingga secara anekdot mungkin terjadi peranakan suku Sunda dan Rusia melahirkan nama Cecep Gorbachev, karena sampai kini banyak orang menyerap bahasa asing ke dalam bahasa daerah atau bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah yang lain, seperti penggunaan nama Andi dari bahasa Sulawesi diserap ke dalam bahasa Jawa.
Memang tidak ada hukum yang melarangnya, tapi persoalannya apabila bahasa yang kita pergunakan sudah tidak sesuai dengan (makna) budaya kita, sehingga akan berpengaruh dalam pensistematikaan bahasa ke dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini akan semakin parah apabila penggunaan bahasa asing itu sudah dianggap gengsi (vrivillege), modern dan sebagainya dan menganggap kuno bahasa dan budaya lokal. Hal ini, tentu memperkeruh budaya bangsa dalam berbahasa atau “budaya bahasa”. Di satu sisi, bahasa asing dianggap penting dalam pergulatan internasional (baca: arus globalisasi). Di sisi lain, penyerapan bahasa asing malah dianggap memperkeruh budaya bangsa.
Apa yang dimaksudkan di atas adalah agar penutur bahasa mampu membawa citra budaya bangsa yang baik. Lebih jauh, karakter budaya lokal harus mampu menghadirkan sosok Indonesia yang lebih bermartabat di mata internasional. “Biarkan lauk-pauknya dari luar (negeri), tapi nasinya tetap citra khas daerah (Indonesia)”. Artinya, bahasa asing boleh dipelajari di berbagai lembaga, instansi dan sebagainya dalam menjawab perubahan zaman, tapi bahasa dan budaya daerah tetap menjadi pokok yang dianut bangsa kita”.
Dengan demikian, tidak akan ada phobia tentang kepunahan bahasa daerah yang berarti pula punahnya budaya dan pada akhirnya kepunahan bangsa. Pandangan kehawatiran kepunahan bahasa kiranya masih abstrak –hanya dari beberapa sudut.
Tatkala bahasa yang indah tidak digunakan dengan baik, seperti “nama” indah dipergunakan penuturnya dengan banyak melakukan kejahatan, mungkin lebih baik nama (maaf) Bagong Suyatno yang prikemanusiaan dari pada Arif bin Bijak, tapi “kepribinatangan”.
Masalah ini sebenarnya merupakan masalah yang harus dilihat secara terintegrasi (seperti integrasi budaya-bahasa) dan menyeluruh, karena bahasa merupakan hasil proses yang amat panjang dari masyarakat.






FUNGSI BAHASA

Gorys Keraf (2001:3-8) menyatakan bahwa ada empat fungsi bahasa, yaitu:
1. Alat untuk menyatakan ekspresi diri
Bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang- kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita.
2. Alat komunikasi
Bahasa merupakan saluran perumusan maksud yang melahirkan perasaan dan memungkinkan adanya kerjasama antarindividu.
3. Alat mengadakan integrasi dan adaptasi sosial
Bahasa merupakan salah satu unsure kebudayaan yang memungkinkan manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman tersebut, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain.
4. Alat mengadakan kontrol sosial
Bahasa merupakan alat yang dipergunakan dalam usaha mempengaruhi tingkah laku dan tindak tanduk orang lain. Bahasa juga mempunyai relasi dengan proses-proses sosialisasi suatu masyarakat.
Bahasa bisa dibilang merupakan salah satu anugerah terindah yang diberikan Tuhan kepada manusia. Bayangkan jika di dunia ini tidak ada bahasa atau hanya ada 1 bahasa saja, apakah mungkin para ilmuwan bisa menciptakan penemuan-penemuan penting? Lalu, ada berapa sebenarnya jumlah bahasa di dunia? Menurut Ethnologuee, saat ini ada sekitar 6.912 bahasa yang dituturkan orang di seluruh dunia. Jumlah ini tentu saja masih diragukan keakuratannya karena tiap hari ada bahasa baru yang mungkin muncul, sebaliknya ada pula bahasa yang punah. Kita sebagai orang Indonesia bolehlah sedikit berbangga karena ternyata bahasa Indonesia masuk dalam 10 besar bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak di dunia.
Sementara fungsi bahasa menurut Mahmudah dan Ramlan (2007:2-3) adalah alat komunikasi antaranggota masyarakat Indonesia. Bahsa juga menunjukkan perbedaan antara satu penutur dengan penutur lainnya, tetapi masing-masing tetap mengikat kelompok penuturnya dalam satu kesatuan sehingga mampu menyesuaikan dengan adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat. Selain itu, fungsi bahasa juga melambangkan pikiran atau gagasan tertentu, dan juga melambangkan perasaan, kemauan bahkan dapat melambangkan tingkah laku seseorang.






Hakikat Bahasa

Arti kata 'hakikat' bila merujuk pada KBBI memiliki pengertian intisari atau dasar. Hakikat bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang mendasar dari bahasa.

Hakikat Bahasa di antaranya:

1. Bahasa sebagai Simbol
Simbol atau lambang adalah sesuatu yang dapat melambangkan dan mewakili ide, perasaan, pikiran, benda, dan tindakan secara arbitrer, konversional, dan representatif-interpretatif. tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara yang menyimbolkan dengan yang disimbolkan. untuk itu baik yang batiniah (inner) seperti perasaan, pikiran, ide, maupun yang lahiriah (outer) seperti benda dan tindakan dapat dilambangkan atau diwakili simbol.

Manusia senantiasa bergelut dengan simbol. Melalui simbol, manusia memandang, memahami, dan menghayati alam dan kehidupannya. Simbol itu sendiri sebenarnya merupakan kenyataan hidup, baik kenyataan lahiriah maupun batiniah yang disimbolkan, karena di dalam simbol terkandung ide, pikiran, dan perasaan, serta tindakan manusia.

Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis sehingga dapat dipergunakan sebagai alat komunikasi. Kata adalah bagian dari simbol yang hidup dan digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu. Kata bersifat simbolis karena tidak memiliki hubungan langsung atau hubungan instrinsik dengan kenyataan yang diacunya, tetapi hanya bersifat arbitrer dan konversional.
Misalnya kata /b-u-k-u/ tidak ada hubungannya dengan benda yang dirujuk yaitu lembaran- lembaran kertas yang ditulis dan dibaca. Kata /a-p-i/ tidak ada hubungannya dengan sifat kepanasan yang diacunya sehingga walaupun kita mengucapkan kata api berkali- kali, maka mulut kita tidak akan terbakar. Hal itu hanya bersifat arbitrer dan kemudian disepakati menjadi suatu konvensi oleh pemakai bahasa.

Sebuah wacana secara secara totalitas dapat juga berupa simbol. Dalam masyarakat batak dikenal wacana berupa ragam bahasa rataan (wailing language). Bahasa ratapan adalah syair yang diucapkan oleh seseorang ketika dia menangisi orang yang meninggal. Bahasa ratapan melambangkan dan mewakili perasaan si peratap. Bahasa ratapan itu sebagai simbol secara totalitas, tetapi wacana bahasa ratapan itu juga terdiri dari simbol- simbol yang lebih kecil seperti kata, frase, dan kalimat.


2. Bahasa Sebagai Bunyi Ujaran
Telinga kita selalu mendengar bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh benda- benda tertentu. o ya, apakah setiap bunyi termasuk bahasa?
Kita mendapat jawaban: TIDAK. Hanya bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia (Human Organs of Speech) yang disebut sebagai bahasa.

Bunyi ujaran merupakan sifat kesemestaan atau keuniversalan bahasa. Tak satupun bahasa di dunia ini yang tidak terjadi dari bunyi . Bahasa sebagai ujaran, mengimplikasikan bahwa media komunikasi yang paling penting adalah bunyi ujaran. Jika kita mempelajarai suatu bahasa kita harus belajar menghasilkan bunyi- bunyi suara.

Pada hakikatnya, bunyi (Kridalaksana, 1983:27) adalah kesan pada pusat syaraf sehingga akibat getaran gendang telinga yang bereaksi karena perubahan- perubahan dalam tekanan udara. Bunyi ujaran (speech sound) adalah satuan bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap dan diamati dalam fonetik sebagai fon atau dalam fonologi sebagai fonem.

3. Bahasa Bersifat Arbitrer
Taukah kawan, pengertian arbitrer dalam studi bahasa adalah manasuka, asal bunyi, atau tidak ada hubungan logis antara kata sebagai simbol (lambang) dengan yang dilambangkan. Arbitrer berarti dipilih secara acak tanpa alasan sehingga ciri khusus bahasa tidak dapat diramalkan secara tepat.

Secara leksis, kita dapat melihat kearbitreran bahasa. Kata anjing digunakan dalam bahasa Indonesi, Biang dalam bahasa Batak, Dog dalam bahasa Inggris. hal ini memiliki kata yang berbeda untuk menyatakan konsep yang sama. Kearbitreran bahasa di dunia ini menyebabkan adanya kedinamisan bahasa.

4. Bahasa bersifat Konvensional
Konvensional dapat diartikan sebagai satu pandangan atau anggapan bahwa kata- kata sebagai penanda tidak memiliki hubungan instrinsik atau inhern dengan objek, tetapi berdasarkan kebiasaan, kesepakatan atau persetujuan masyarakat yang didahului pembentukan secara arbitrer. Tahapan awal adalah manasuka/ arbitrer, hasilnya disepakati/ dikonvensikan, sehingga menjadi konsep yang terbagi bersama (socially shared concept).

Setiap kita berbicara, kita terlibat dalam konvensi. Jika seseorang melihat kata kursi atau mendengar bunyi kursii , secara langsung dapat mengetahui bahwa kata itu merujuk pada sesuatu yang lain. Kita tahu bahwa tidak ada hubungan yang inhern antara kata kursi dengan benda kursi. Kata itu merujuk pada benda karena ada konvensi penamaan atau penyebutan benda tertentu dengan suatu nama tertentu.

Konvensi/ kesepakatan akan menentukan apakah kata yang dibentuk secara arbitrer dapat terus berlangsung dalam pemakaian bahasa atau tidak. Suatu bahasa tidak dapat dipaksakan agar dipakai pada suatu kelompok masyarakat bahasa. Kelangsungan hidup suatu bahasa ditentukan oleh kemauan, kebiasaan, atau kesepakatan masyarakat.
Untuk itu.... Banggalah menggunakan bahasa Indonesia....

5. Bahasa Sebagai Sistem
Setiap bahasa memiliki sistem, aturan, pola, kaidah sehingga memiliki kekuatan atau alasan ilmiah untuk dipelajari dan diverifikasi. Pada hakikatnya, setiap bahasa memiliki dua jenis sistem yaitu sistem bunyi dan sistem arti. Sistem bunyi mencakup bentuk bahasa dari tataran terendah sampai tertinggi (fonem, morfem, baik morfem bebas maupun morfem terikat, frase, paragraf, dan wacana). Sistem bunyi suatu bahasa tidak secara acak- acakan, tetapi mempunyai kaidah- kaidah yang dapat diterangkan secara sistematis. Sistem arti suatu bahasa merupakan isi atau pengertian yang tersirat atau terdapat dalam sistem bunyi.

Sistem bunyi dan sistem arti memang tidak dapat dipisahkan karena yang pertama merupakan dasar yang kedua dan yang kedua merupakan wujud yang pertama.

6. Bahasa Bermakna
Makna adalah arti, maksud atau pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk kebahasaan untuk menghubungkan bentuk kebahasaan tersebut dengan alam di luar bahasa atau semua hal yang ditunjuknya. Macam- macam makna:

* Makna Leksis
Makna unsur- unsur bahasa terlepas dari penggunaannya atau konteksnya. Makna leksis sering disebut makna sebagaimana yang ada di dalam kamus atau makna sebenarnya. Misalnya kata laki- laki mempunyai makna pria atau manusia yang berjenis kelamin jantan.

* Makna Kiasan
Makna unsur- unsur bahasa yang didasarkan pada perasaan atau pikiran yang berada di luar makna sebenarnya. Misalnya Buah bibir memiliki makna menjadi pembicaraan orang.

* Makna Kontekstual
Makna unsur bahasa yang didasarkan pada hubungan antara ujaran dengan situasi ketika ujaran itu dipergunakan. Misalnya kata bagus dapat berarti jelek ketika seorang ayah mengejek anaknya yang malas belajar, kalimat yang digunakan patutlah nilaimu sangat bagus.

* Makna gramatis
Makna yang diperoleh berdasarkan hubungan antara unsur- unsur bahasa dalam satuan- satuan yang lebih besar. Misalnya pada kata dia mencintai ibunya, bermakna sebutan atau perbuatan aktif.

7. Bahasa Bersifat Produktif
Hal ini diartikan sebagai kemampuan unsur bahasa untuk menghasilkan terus- menerus dan dipakai secara teratur untuk membentuk unsur- unsur baru. Prefik /meN-/ dan /di-/, misalnya dapat melekat pada setiap kata kerja dan fungsinya masing- masing membentuk kata kerja aktif dan kata kerja pasif dalam bahasa Indonesia.

8. Bahasa Bersifat Universal
Bahasa merupakan sesuatu yang berlaku umum dan dimiliki setiap orang. Pada sifat internal bahasa, universal adalah kategori linguistikyang berlaku umum untuk semua bahasa.

9. Bahasa Bersifat Unik
Hal ini terlihat dari studi bahasa adalah kategori bahasa yang tersendiri bentuk dan jenisnya dari bahasa lain. Setiap bahasa ada perbedaan dengan bahasa lain meskipun termasuk dalam bahasa serumpun.

10. Bahasa Sebagai Komunikasi
Menjadi penyampai pesan dari penyapa kepada pesapa (penerima). Komunikasi harus bermakna atau berarti baik bagi penyapa atau pesapa. Komunikasi dapat bermakna jika sistem tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi dapat informatif.






Keistimewaan Bahasa

Seperti kita ketahui ada tiga macam bahasa, yaitu : bahasa isyarat, bahasa lisan, dan bahasa tulisan. Bahasa isyarat itu terjadi kalau ada orang memaparkan isi hatinya dengan tanda : mengangguk, menggeleng-geleng, gerak tangan dan lain-lain. Adapun bahasa lisan terjadi dari kata-kata dan kata-kata itu terdiri dari bunyi. Tidaklah tiap-tiap bunyi yang dikeluarkan manusia itu merupakan kata, dan bukanlah kata-kata yang dirangkai-rangkaikan itu tentu merupakan bahasa. Adapun yang disebut kata ialah suatu bunyi yang mengandung pengertian, yang ada isinya, yang menjadi dasar pertama bagi bahasa lisan itu, berhubung rapat dengan pengertian, jadi dengan mengerti pulalah. Dengan demikian bahasa lisan itu ada hubungannya dengan mengerti. (Syaiful Bahri)
Bahasa dapat menjadi sumber kekuatan bagi seseorang. Apabila tidak ada bahasa, takkan adanya syair-syair serta lagu yang indah, takkan terciptanya para pujangga yang bermain kata. Dengan bahasa kita dapat membuat sebuah kata-kata yang membuat orang lain bergetar dengan puisi atau kata-kata yang dibuatnya, bahasa juga menjadi alat pemersatu suatu bangsa, diantaranya itu adalah salah satu dari ribuan keistimewaan suatu bahasa.Oleh karena itu, dalam hidup bahasa merupakan suatu alat yang sangat penting untuk berkomunikasi, karena tanpa bahasa kita tidak dapat menuangkan ide-ide yang ada dalam pikiran kita.
Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari kegiatan saling berkomunikasi, oleh karena itu diciptakannya sebuah bahasa. Bahasa juga merupakan lambang identitas nasional dari suatu bangsa sebagai alat perhubungan antar daerah dan antar budaya. Dapat dikatakan bahwa bahasa adalah alat yang produktif dan kreatif. Bahasa tidak hanya berkontribusi untuk tranmisi pengetahuan dari seorang individu ke individu lainnya, melainkan juga dari suatu generasi ke generasi di masa mendatang.
Pada dasarnya bahasa sebagai alat komunikasi tidak hanya berupa bicaa, melainkan juga dapat diwujudkan dengan tanda isyarat tangan atau anggota tubuh lainnya yang memiliki aturan tersendiri. Diperkirakan sekitar 50 bahasa isyarat yang digunakan diseluruh dunia. Penggunaan bahasa isyarat ini diduga mempengaruhi pemrosesan informasi dan belajar. Individu yang sudah familiar dengan bahasa isyarat dapat berkomunikasi dengan mudahnya. Mampukah anda menggunakan bahasa isyarat dengan benar ?






Keterampilan Berbahasa

Keterampilan berbahasa sangatlah perlu dikuasai dalam berkomunikasi dikehidupan kita sehari-hari. Dalam berkomunikasi kita menggunakan keterampilan berbahasa yang telah kita miliki,meskipun setiap orang memiliki tingkatan / kualitas yang berbeda. Orang yang memiliki keterampilan berbahasa secara optimal setiap tujuan komunikasinya dapat dengan mudah tercapai. Sedangkan bagi orang yang memiliki tingkatan keterampilan berbahasa yang sangat lemah,sehingga bukan tujauannya yang tercapai tetapi malah terjadi kesalah pahaman yang hanya akan membuat suasana mejadi panas.
Mari perhatikan kehidupan masyarakat. Anggota-anggota masyarakat saling berhubungan dengan cara berkomunikasi. Komunikasi dapat berupa komunikasi satu arah, dua arah, dan multi arah. Komunikasi satu arah terjadi ketika seseorang mengirim pesan kepada orang lain, sedangkan penerima pesan tidak menanggapi isi pesan tersebut. Misalnya, khotbah jumat dan berita di TV atau radio. Komunikasi dua arah terjadi ketika pemberi pesan dan penerima pesan saling menanggapi isi pesan. Komunikasi multi arah terjadi ketika pemberi pesan dan penerima pesan yang jumlahnya lebih dari dua orang saling menanggapi isi pesan (Ghofur, 2009:1).

Dalam kegiatan komunikasi, pengirim pesan aktif mengirim pesan yang diformulasikan dalam lambang-lambang berupa bunyi atau tulisan. Proses ini disebut dengan encoding. Selanjutnya si penerima pesan aktif menerjemahkan lambang-lambang tersebut menjadi bermakna sehingga pesan tersebut dapat diterima secara utuh. Proses ini disebut dengan decoding.

Ada beberapa aspek-aspek yang berhubungan dengan penggunaan bahasa, terdapat empat keterampilan dasar berbahasa yaitu; menyimak, berbicara, menulis, dan membaca. Keempat keterampilan tersebut saling terkait antara yang satu dengan yang lain.

Menyimak dan berbicara merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang langsung. Menyimak bersifat reseptif, sedangkan berbicara bersifat produktif. Misalnya, komunikasi yang terjadi antar teman, antara pembeli dan penjual atau dalam suatu diskusi di kelas. Dalam hal ini A berbicara dan B mendengarkan. Setelah itu giliran B yang berbicara dan A mendengarkan. Namun, ada pula dalam suatu konteks bahwa komunikasi itu terjadi dalam situasi noninteraktif, yaitu satu pihak saja yang berbicara dan pihak lain hanya mendengarkan. Misalnya Khotbah di masjid, dimana pemceramah menyampaikan ceramahnya, sedangkan yang lainnya hanya mendengarkan.

Terkait dengan kegiatan pembelajaran, maka mahasiswa keguruan atau calon guru dituntut untuk mampu memodifikasi aktivitas pembelajaran agar siswa mampu untuk melaksanakan kegiatan komunikasi baik satu arah, dua arah, maupun multi arah. Aktivitas yang dapat dilakukan adalah dengan metode diskusi kelompok, Tanya jawab, dan sebagainya.
Hubungan Menyimak dan Membaca

Menyimak dan membaca sama-sama merupakan keterampilan berbahasa yang bersifat reseptif. Menyimak berkaitan dengan penggunaan bahasa ragam lisan, sedangkan membaca merupakan aktivitas berbahasa ragam tulis. Penyimak maupun pembaca melakukan aktivitas pengidentifikasian terhadap unsur-unsur bahasa yang berupa suara (menyimak), maupun berupa tulisan (membaca) yang selanjutnya diikuti dengan proses decoding guna memperoleh pesan yang berupa konsep, ide, atau informasi.

Keterampilan menyimak merupakan kegiatan yang paling awal dilakukan oleh manusia bila dilihat dari proses pemerolehan bahasa. Secara berturut-turut pemerolehan keterampilan berbahasa itu pada umumnya dimulai dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Kegiatan menyimak diawali dengan mendengarkan, dan pada akhirnya memahami apa yang disimak. Untuk memahami isi bahan simakan diperlukan suatu proses berikut; mendengarkan, mengidentifikasi, menginterpretasi atau menafsirkan, memahami, menilai, dan yang terakhir menanggapi apa yang disimak. Dalam hal ini menyimak memiliki tujuan yang berbeda-beda yaitu untuk; mendapatkan fakta, manganalisa fakta, mengevaluasi fakta, mendapat inspirasi, menghibur diri, dan meningkatkan kemampuan berbicara.
Menyimak memiliki jenis-jenis sebagai berikut:
1. Menyimak kreatif: menyimak yang bertujuan untuk mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas pembelajar.
2. Menyimak kritis: menyimak yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk memberikan penilaian secara objektif.
3. Menyimak ekstrinsik: menyimak yang berhubungan dengan hal-hal yang tidak umum dan lebih bebas.
4. Menyimak selektif: menyimak yang dilakukan secara sungguh-sungguh, dan memilih untuk mencari yang terbaik.
5. Menyimak sosial: menyimak yang dilakukan dalam situasi-situasi sosial.
6. Menyimak estetik: menyimak yang apresiatif, menikmati keindahan cerita, puisi, dll.
7. Menyimak konsentratif: menyimak yang merupakan sejenis telaah atau menyimak untuk mengikuti petunjuk-petunjuk.

Hubungan Membaca dan Menulis

Membaca dan menulis merupakan aktivitas berbahasa ragam tulis. Menulis adalah kegiatan berbahasa yang bersifat produktif, sedangkan membaca adalah kegiatan yang bersifat reseptif. Seorang penulis menyampaikan gagasan, perasaan, atau informasi dalam bentuk tulisan. Sebaliknya seorang pembaca mencoba memahami gagasan, perasaan atau informasi yang disajikan dalam bentuk tulisan tersebut.

Burns, Anderson, dan Ulit dalam Ghofur (2009:2) memaparkan bahwa Membaca adalah suatu proses kegiatan yang ditempuh oleh pembaca yang mengarah pada tujuan melalui tahap-tahap tertentu. Proses tersebut berupa penyandian kembali dan penafsiran sandi. Kegiatan dimulai dari mengenali huruf, kata, ungkapan, frasa, kalimat, dan wacana, serta menghubungkannya dengan bunyi dan maknanya. Lebih dari itu, pembaca menghubungkannya dengan kemungkinan maksud penulis berdasarkan pengalamannya. Sejalan dengan hal tersebut, Kridalaksana dalam Ghofur (2009:2) menyatakan bahwa membaca adalah keterampilan mengenal dan memahami tulisan dalam bentuk urutan lambang-lambang grafis dan perubahannya menjadi bicara bermakna dalam bentuk pemahaman diam-diam atau pengujaran keras-keras. Kegiatan membaca dapat bersuara nyaring dan dapat pula tidak bersuara (dalam hati).

Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafis tersebut (Bryne dalam Ghofur, 2009:3). Lebih lanjut Bryne menyatakan bahwa mengarang pada hakikatnya bukan sekadar menulis simbol-simbol grafis sehingga berbentuk kata, dan kata-kata tersusun menjadi kalimat menurut peraturan tertentu, akan tetapi mengarang adalah menuangkan buah pikiran ke dalam bahasa tulis melalui kalimat-kalimat yang dirangkai secara utuh, lengkap, dan jelas sehingga buah pikiran tersebut dapat dikomunikasikan kepada pembaca.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan karang-mengarang, pengarang menggunakan bahasa tulis untuk menyatakan isi hati dan buah pikirannya secara menarik kepada pembaca. Oleh karena itu, di samping harus menguasai topik dan permasalahannya yang akan ditulis, penulis dituntut menguasai komponen (1) grafologi, (2) struktur, (3) kosakata, dan (4) kelancaran.
Aktivitas menulis mengikuti alur proses yang terdiri atas beberapa tahap. Mckey dalam Ghofur (2009:3) mengemukakan tujuh tahap yaitu (1) pemilihan dan pembatasan masalah, (2) pengumpulan bahan, (3) penyusunan bahan, (4) pembuatan kerangka karangan, (5) penulisan naskah awal, (6) revisi, dan (7) penulisan naskah akhir.Secara padat, proses penulisan terdiri atas lima tahap yaitu; (1) pramenulis, (2) menulis, (3) merevisi, (4) mengedit, dan (5) mempublikasikan (Ghofur, 2009:3).



Dari:
(Pemerhati budaya dan bahasa tinggal di Bogor)
(Hakikat Bahasa_Drs. Robert Sibarani, M.S)
(Keiastimewaan Bahasa_Hamdani Mulya, S.Pd)
(Cahya | Published ditulis dalam Budaya Bahasa Sebuah Blog)

0 komentar:

Posting Komentar

Download youtube Video

ShoutMix chat widget
 

© Copyright by BERBAGI ILMU DAN INFORMASI | Template by BloggerTemplates | Blog Trick at Blog-HowToTricks