Minggu, 02 Januari 2011

Mengunjungi Patanyamang, Desa Terpencil yang Mampu Hasilkan Listrik Sendiri (1)

Terinspirasi Ide Pak Arsyad, Dua Tahun Langsung Ganti Turbin

Harapan itu sempat mengapung tanpa arah. Tofografi Desa Patanyamang, Kecamatan Camba, Kabupaten Maros, yang terletak di lereng pegunungan membuat PLN angkat tangan. Mustahil menghadirkan listrik. Tapi warga tak manja. Mereka yakin bisa melakukannya sendiri. Syaratnya hanya satu; kerja keras.Pasar Tobonggae hampir usai. Di parkiran, sebuah mobil jeep berwarna biru tua sudah disesaki penumpang. Sebentar lagi berangkat. Tinggal menunggu barang belanjaan para penumpang di atap mobil, selesai diikat.

Sang sopir, Rudi, dibantu dua keneknya, tampak cekatan mengaitkan ujung-ujung tali. Semua penumpang warga Patanyamang, kecuali penulis dan seorang teman bernama Muliar.

Jam menunjukkan pukul 09.35 Wita saat Rudi mulai menghidupkan mesin mobil bermerek Toyota Land Cruiser keluaran 1987 itu. Samar-samar terdengar suara beberapa penumpang melafalkan doa.

Memang tak seragam, tapi semuanya tentu berharap bisa tiba di tempat tujuan dengan selamat. Tak terkecuali Daeng Nanring, penumpang yang duduk berhadapan dengan penulis di bagian paling belakang. Mulutnya komat-kamit. Duduknya tenang.

Jalan menuju Desa Patanyamang memang menuntut kecakapan ekstra pengemudi. Penuh tanjakan. Banyak tikungan tajam. Di sana-sini terdapat jurang yang menganga.

Jangan harap bisa melalui jalan beraspal. Yang ada hanya jalan tanah yang di beberapa bagian dijejali batu kali. Hujan yang turun sehari sebelumnya membuat kondisi jalan semakin sulit ditempuh. Bagi pecinta otomotif jenis off road, jalan menuju Patanyamang, layak dijajal.

Desa Patanyamang berada di pegunungan, sekira 13 kilometer dari jalan poros Camba-Bone. Butuh nyali besar jika ingin mengendarai sepeda motor. Kondisi jalan benar-benar buruk.

Hanya kendaraan khusus seperti mobil hardtop atau jeep yang bisa menembus ke sana. Waktu tempuh antara dua hingga tiga jam. Bagi warga yang kuat jalan kaki, butuh waktu antara empat sampai lima jam.

Patanyamang sangat terpencil. Sebuah kenyataan yang bisa membuat kita mahfum jika PLN tak mampu menghadirkan listrik ke sana. Tentu membutuhkan biaya besar, juga volume kerja yang berlipat ganda.

Menurut Kepala Desa (Kades) Patanyamang, Nasruddin, antara tahun 1999-2000, pihak PLN sempat berkali-kali melakukan survei ke desanya. Melakukan dialog dengan warga. Tapi yang tersisa hanya janji. Warga tetap harus hidup "meraba" tanpa listrik.

Warga "berontak". Mereka merasa harus menentukan nasib sendiri. Sampai pada 2004, sebuah program pemerintah bernama Program Pengembangan Kecamatan (PPK), berdengung.

Program itu dianggap sebagai peluang emas, setidaknya untuk mewujudkan mimpi menghadirkan listrik. Tapi, dana PPK tak cukup banyak untuk menjangkau seluruh desa di Kecamatan Camba. Ada proses seleksi yang mesti dilewati.

Tanda-tanda keberuntungan Desa Patanyamang, perlahan mulai tampak. Proyek usulan mereka menempati rangking satu. Dana pun mengucur. Tapi jumlahnya hanya sekira Rp 210 juta.

Aparat desa bersama warga pun mesti cermat berhitung. "Awalnya kami ragu bisa membangun sebuah pembangkit listrik. Dana minim," kata Nasruddin, di kediamannya di Patanyamang, Jumat, 31 Oktober.

Tapi semangat warga telanjur berkobar. Angka-angka minim yang tertera di layar kalkulator tak cukup untuk menghentikan langkah mereka. Pameo habis gelap terbitlah terang telah terpatri di benak para warga.

"Tekad sudah bulat. Sebenarnya, sudah ada 17 kepala keluarga yang sudah lama menikmati listrik. Itu berkat kincir kayu yang dibuat Pak Arsyad.

Itulah yang mengilhami kami untuk membangun sebuah pembangkit dengan kapasitas lebih besar dan bisa dinikmati seluruh warga desa," kata Enrekang, tokoh masyarakat Patanyamang yang juga Kepala Dusun Lalebata, usai salat Jumat.

Pak Arsyad yang dimaksud mantan jagoan kampung itu bukanlah seorang ahli mekanikal maupun elektrikal. Arsyad adalah penduduk asli Patanyamang yang tidak tamat SD.

Tapi ilmu itu didapatkannya saat merantau ke Kalimantan di awal 1990-an. Di sana, dia melihat sebuah desa terpencil yang bisa menikmati listrik hasil produksi sendiri. Memakai teknologi sederhana, hanya berupa kincir kayu.

Balik ke Patanyamang pertengahan 1995, Arsyad mencoba menerapkan teknologi seperti itu. Dia pun membangun pembangkit listrik tenaga air. Sebuah kincir digunakan sebagai penggerak yang mampu mengonversi energi air menjadi listrik.

Eksperimen Arsyad berhasil. Namun hanya belasan kepala keluarga (KK) yang bisa menikmati. Selebihnya, 300-an KK hanya bisa jadi "penonton".

Kincir tak cocok. Saat dana PPK mengucur, usulan memakai teknologi yang lebih canggih pun mengemuka. Setelah berkonsultasi ke mana-mana, pilihan warga jatuh pada teknologi turbin.

Untuk itu, sebuah pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH), harus dibangun. Debit air di Patanyamang cukup memungkinkan. Mata air Bulu Kaleleng nyaris tak pernah kering.

Biaya yang minim tertutupi dengan swadaya warga sebesar Rp 80 juta. Terkumpullah total dana sebesar Rp 290 juta. Sebuah turbin dibeli dari Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) Makassar.

Harganya sekira Rp 100 juta. Sisa dana dipakai untuk membangun bendungan, rumah pembangkit, serta rumah operator. Tak ada biaya untuk tukang. Warga menyelesaikannya dengan bergotong royong.

Sebagian bahan bangunan dibeli, sebagian lagi diambil dari sumber daya alam desa. Laki-laki mengumpulkan batu kali dan pasir, serta kayu untuk tiang listrik. Kaum perempuan menyiapkan makanan.

Dalam waktu yang lumayan singkat, semuanya beres. PLTMH telah berdiri kokoh. Hanya saja, kapasitas produksinya masih minim, hanya 15 kilowatt (kw) atau 15.000 watt. Masih ada separuh warga yang belum bisa terjamah listrik. Kondisi tersebut hanya berlangsung dua tahun. Pada 2006, bank dunia mengucurkan dana untuk Patanyamang.

PLTMH tahap kedua pun dimulai. Turbin dan generator diganti. Kemampuan produksi dayanya hinga 30.000 watt. Cukup untuk menerangi rumah 360 KK yang ada di desa tersebut. "Juga untuk fasilitas umum," tutur Kades Nasruddin.
***
Jumat siang. Penulis bersama aparat desa terlibat perbincangan santai di teras rumah Nasruddin. Beberapa menit sebelumnya, kami makan bersama. Beragam menu disiapkan istri Nasruddin, Hasdawati. Warga sering memanggilnya dengan sebutan Ibu Desa.

Menu ikan bakar Ibu Desa paling "laris" siang itu. Namun Enrekang merasa lebih nikmat mencicipi sup. Tangan kirinya tak lupa meraih beberapa irisan jeruk nipis.

Enrekang bersama warga lainnya, pamit pulang setelah makan. Sementara penulis melanjutkan "petualangan" ke lokasi turbin. Berboncengan dengan Pak Kades. Motornya Honda Win 100 yang sudah dimodifikasi.

Ada juga sekretaris desa, Muh Rasta yang membonceng Muliar. Sementara sang operator turbin, Syarif, memilih jalan kaki. "Laccu balatuka bela (jalan licin)," katanya dalam bahasa Dentong, bahasa yang berlaku di Patanyamang.

Untuk mencapai lokasi turbin, kita harus menyeberang sungai. Di bagian atas, tampak bendungan yang menjadi tempat berkumpulnya air sebelum mengalir ke turbin. Di bawah bendungan ada rumah pembangkit.

Di dalam ruangan berukuran 3x4 meter itulah mesin bernama turbin berada. Bentuknya mirip mesin penggiling. Warnanya biru dan kuning. Ada juga sebuah generator yang terhubung dengan panel kontrol.

Warnanya senada. Di bagian atas ruangan, tiga alat ballast load, alat penyeimbang tegangan, tertancap. Benda itu memancarkan panas yang terasa perih di kulit.

Mekanisme kerja alat-alat tersebut terbilang sederhana. Air yang dialirkan dengan pipa 12 inch, tiba di turbin. Proses perputaran membuat energi air berubah menjadi energi listrik yang kemudian berpindah ke generator.

"Keseimbangannya harus selalu dijaga agar listrik bisa terus mengalir," jelas Syarif. Dia pemuda yang cerdas. Pria 28 tahun itu tahu betul soal listrik di desanya. Padahal dia mengaku tak pernah sekolah. Belajar otodidak, melihat kerja Arsyad yang kini menjadi kepala operator.

Di belakang rumah pembangkit, masih ada sebuah bangunan. Namanya rumah operator. Di situlah Arsyad, Syarif dan operator lainnya, Sabang, kerap menginap. Mereka harus memastikan gerak turbin tetap stabil.

Sebuah televisi dengan antena parabola menjadi teman setia para operator. Hanya ada satu kamar dengan sebuah kasur mini. Di bagian depan, ada teras yang sempit. Sebuah jam dinding yang sudah tak berfungsi, menggantung di atasnya.

Dari kedua banguan kecil itulah, listrik dikendalikan. Tugas utama operator adalah menghidupkan dan mematikan turbin. Listrik di Patanyamang memang tidak sepanjang waktu menyala.

Turbin hanya diaktifkan mulai pukul 17.00 hingga pukul 07.00 Wita. Tapi tetap ada pengecualian. Hari Jumat dan Minggu, listrik mengalir 24 jam. "Agar mesin tahan lama," kata Syarif.

Walau tak menyala sepanjang waktu, warga mengaku tetap bahagia. Setidaknya, kini mereka bisa menikmati hasil jerih payah mereka secara mandiri itu.

"Akkulle tommaki nonton televisi do' (sekarang kita juga sudah bisa nonton televisi)," seloroh Enrekang saat masih di rumah Pak Kades. Dia orang yang ramah. Usianya sudah 62 tahun, semakin senja.

Tapi di balik keramahannya itu, Enrekang ternyata bisa juga bersikap keras. Dia menjadi orang pertama yang menentang pembangunan turbin di Patanyamang yang kemudian diikuti sebagian besar warga.

Bagaimana perjuangan warga Patanyamang membangun turbin di tengah sikap pesimistis sebagian warga lainnya? Bagaimana juga kehidupan warga setelah listrik mulai mengalir, serta pengelolaan PLTMH sehingga tak merugi seperti PLN? Jawabannya ada di lanjutan tulisan ini. (bersambung)

(FAJAR, Selasa 04 Nov 2008, )
By IMAM DZULKIFLI, MAROS














Photo Panorama, Lestari65

by Lestari galery

0 komentar:

Posting Komentar

Download youtube Video

ShoutMix chat widget
 

© Copyright by BERBAGI ILMU DAN INFORMASI | Template by BloggerTemplates | Blog Trick at Blog-HowToTricks