Senin, 31 Januari 2011

DI TIKUNGAN DAHA SENJA TENGGELAM

Belokan itu ia namai Tikungan Daha. Letaknya di jalan logging yang mendaki ke arah bukit. Kiri kanannya lereng yang terjal. Ia namai demikian karena sejak pertama kali melintasi jalan itu, mata Rudi telah tertambat pada sosok tinggi besar yang berdiri kokoh di dekat jalan, agak terpisah dari lainnya. Pohon Daha. Sejak itu ia selalu menyebut Tikungan Daha sebagai penanda lokasi plot-plot sampel untuk penelitiannya. Setelah melalui tikungan dan sampai di punggung bukit, panorama yang terlihat di belakang pandang adalah hamparan lembah hijau Bukit Susu – bukit kembar berselimut hutan hujan tropis Kalimantan. Kabut sutera masih tipis menyaput ketebalan dedaunan, menerpakan sejuk angin pagi dari kejauhan.
Bukit yang ditumbuhi hutan lebat di ujung jalan tanah ini adalah bagian dari areal konsesi perusahaan pemegang ijin hak pengusahaan hutan (HPH) yang telah beroperasi lebih dari 20 tahun, sehingga tinggal hutan-hutan di pegunungan yang jauh dari logpond di sungai besar yang tersisa untuk ditebang. Ada kebiasaan dalam melakukan penebangan hutan selalu dimulai dari tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai dan bergerak arah hulu dan pedalaman yang berbukit-bukit. Peruntukan lahan pada kawasan seperti ini termasuk kategori Hutan Produksi Terbatas yang hampir tidak berbeda kondisi biofisiknya dengan Hutan Lindung. Perusahaan HPH ini bekerja membalak kayu yang berasal dari pohon-pohon besar jenis meranti yang akan disulap menjadi lembaran-lembaran kayu lapis di pabrik-pabrik dan akhirnya menjelma menjadi lembaran-lembaran rupiah di Pulau Seberang.
Kegiatan Rudi untuk hari ini telah selesai, membuat rintis terakhir di lapangan pada plot ke sembilan. Plot yang paling sulit karena letaknya pada kelerengan yang curam sebagai pembanding untuk tingkat kesulitan yang tinggi pada kegiatan pemanenan kayu yang dilaksanakan oleh penebang dan traktor sarad. Dua minggu ini seluruh rangkaian pembuatan plot telah ia selesaikan dengan bantuan tenaga cruiser dan juru ukur perusahaan, mulai dari pemetaan pohon-pohon yang akan ditebang, mempelajari peta kelerengan sampai dengan pembuatan rintis batas plot penelitian.

Senja telah merayapi bukit. Kulit Daha yang keras, putih kecoklatan, semakin tegar nampaknya ketika digores cahaya kuning berkilauan, memantul menerobos pupil mata Rudi yang sejak tadi duduk hampir tak bergerak di semak-semak resam di pinggir jalan. Hi-line pick-up yang digunakan untuk mengangkut para penebang belum juga datang menjemput, padahal kelelahan Rudi yang telah bekerja seharian mulai beranjak menjadi kantuk.
“Melamun ya, Mas? Hati-hati lo, nanti kesambet! Suasana temaram begini banyak makhluk yang lewat!” Teriakan salah seorang yang membantu Rudi itu cukup menyadarkannya dari suasana hati yang mulai rawan.
Dengan sekali toleh dan sedikit senyum, Rudi segera beranjak ke kerumunan orang di atas tebing jalan yang baru dikupas. Tubuh-tubuh mereka perlahan kemudian tidak bisa lagi dibedakan atau dikenali, sebab cahaya matahari kali ini benar-benar telah padam.
***
Malam ini cuaca di lembah Saenda sangat dingin, menandai musim sedang kemarau. Para pekerja perusahaan telah lelap di barak-barak mereka: deretan barak kayu beratap seng yang dibangun di atas log atau kayu bulat besar. Barak-barak itu berdiri di atas hamparan tanah yang tidak terlalu luas, yang sebelumnya berupa hutan lebat yang dikupas dan digusur dengan traktor, sehingga menjadi semacam perkampungan kecil, sebuah camp sementara untuk mendukung aktivitas penebangan hutan. Orang-orang perusahaan biasa menyebut camp seperti ini dengan istilah camp tarik, karena barak-barak tersebut memang dapat ditarik dengan traktor untuk sewaktu-waktu dipindahkan ke tempat lain.
Diantara deretan barak kayu yang telah senyap, terlihat sebuah barak yang masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan, meskipun malam telah mulai larut. Bentuknya sama saja dengan lainnya, namun sebagaimana layaknya sebuah warung, pada bagian muka terdapat dua pintu dengan jendela lebar, sehingga tampak meja utama tempat makanan dan minuman serta aneka jajanan disajikan. Ada pula meja-meja dari papan yang ditempel pada sekeliling dinding bagian dalamnya dengan kursi kayu panjang tempat biasanya para pekerja duduk untuk mengisi perut maupun sekedar bersantai menikmati kepulan asap rokok dan hangatnya kopi. Memang barak yang satu ini adalah sebuah warung. Warung yang menghidupi seluruh penghuni camp tarik, menjadi semacam oase yang mengembalikan seluruh semangat dan kekuatan untuk terus berkerja di belantara hutan yang jauh.
Beberapa orang masih asyik ngobrol. Diantara kerumunan orang itu, Rudi tampak bersandar di dinding kayu sambil matanya mengarah pada layar kaca parabola, namun telinganya tidak lepas dari perbincangan para pekerja: ada berita seorang operator tebangan tewas di lokasi karena tertimpa patahan cabang tepat di kepalanya yang tidak dilindungi helm pengaman, ada kecelakaan kerja dialami pembantu operator traktor sarad yang terkena sabetan pengait baja di wajahnya, ada keluhan minimnya upah operator chainsaw dibanding operator logging truck, padahal resiko kerjanya tidak kalah besar, ada isu kecemburuan jatah lokasi penebang antara warga asli dan pendatang, ada komentar-komentar, lalu beralih cerita-cerita lucu yang menghangatkan. Beberapa saat kemudian pelupuk matanya perlahan mengatup tak bisa ditahan.
***
Aneka gambar berseliweran seperti cuplikan ekstra film di bioskop di benak Rudi. Manusia liliput sedang menebang pohong yang tingginya hampir mencapai awan. Tapi suara gergaji rantai kecilnya meraung-raung memekakkan gendang telinga raja orangutan yang bertengger di atas dahan. Ketika batang telah hampir selesai ditebang, pohon tak juga bergoyang, bahkan kemudian terdengar geraman sang raja yang perkasa mematahkan cabang besar dan melemparkan ke arah liliput yang lengah. Cras..Bum..Brrraakhh!!! Tanpa jeritan tubuh liliput tertindih cabang yang lalu menancap di dasar jurang. Tubuh Rudi berpeluh...
Pohon meranti putih sangat besar baru saja tumbang. Suara gedebamnya membuat merinding seluruh makhluk di hutan! Lalu bayangan traktor seperti gerombolan gajah mencoba menariknya dari kedalaman jurang. Suara meraung berat. Tak ada yang bergerak. Berulang ulang. Tas... Prakk!!! Pengait baja melayang secepat kilat. Menyambar wajah-wajah yang berpeluh pekat! Alis mata Rudi mengkerut...
Sesosok berwajah Rudi tampil di podium seminar. Mulutnya tak henti nyerocos tentang belantara yang porak poranda, batang-batang bersilang sengkarut, mencongkel mata air, mendongkrak tunggak-tunggak. Tak ada yang berdiri tegak. Para dosen penguji dan mahasiswa terpana pada mulut Rudi yang berbusa-busa, pada wajah Rudi yang tiba-tiba sepucat kulit Daha. ...Daha! Pasti pohon itu masih berdiri di sana. Pasti, sebab pohon banggeris tempat sarang lebah hutan itu tidak boleh ditebang. Tandanya jelas label kuning, dilindungi! Tapi..., jangan-jangan.... Rudi hendak beranjak bangkit, tapi sekujur tubuhnya kaku, lidahnya kelu...
***
Seperti biasa kesibukan pagi di camp tarik dibuka dengan celoteh siamang di rindang hutan. Bahkan fajar masih kelihatan di ufuk Timur, ketika para pekerja perusahaan telah berlalu lalang menuju sungai kecil di belakang barisan barak kayu. Perlahan matahari merangkak naik, namun sinarnya masih terhalang pepohonan. Cahaya keemasannya hanya tampak menggores tajuk meranti ramping yang tinggi, satu-satunya pohon yang dibiarkan berdiri di tepi jalan mainroad yang membelah areal camp. Rudi telah berkemas-kemas membawa peralatan dan bekal makan siang yang dibungkuskan oleh Bibi Warung. Dinginnya air sungai waktu mandi pagi tadi masih terasa menyegarkan, badan dan pikirannya. Hari ini adalah hari terakhir ia berada di lokasi tebangan, sebab sesuai jadwal ia besok harus berada di base camp untuk persiapan presentasi hasil penelitiannya. Untunglah data-data yang diperlukan telah cukup diperoleh dan sebagian besar telah diolah dan dianalisis.
Rombongan tujuh orang diangkut pick up ke atas bukit. Wajah-wajah terlihat ceria seperti biasa, seolah pekerjaan berat yang menyerap sejuta keringat ini tak terasa bagi orang-orang yang telah tertempa seperti mereka. Sesekali canda tawa bersautan dengan derum mesin diesel dan raung gergaji di kejauhan. Bau solar tercium dari sisa asap knalpot yang ditinggalkan. Cuaca cukup cerah. Pekerjaan hari ini tinggal menemani Rudi mengumpulkan anggrek hutan. Anggrek yang menempel mesra di dahan yang bergelimpangan, perlahan akan dikelupas untuk diselamatkan. Sebenarnya kegiatan ini intermezo saja bagi Rudi, karena sayang melihat anggrek yang begitu indah namun tertimbun reruntuhan hutan.
Cepat sekali senja kembali merayap. Semua bekal telah habis dilahap. Sampai sejauh ini pick up perusahaan belum juga terlihat. Lelah yang memuaskan baru saja dirasakan, namun tanpa tanda-tanda sebelumnya, pupil mata Rudi tiba-tiba nanar menatap sosok yang tegak sendirian di tikungan. Rasa aneh menyelinap: syukur yang bimbang! Kulit Daha benar-benar telah putih pucat. Cahaya kuning emas tak mampu lagi menyepuhnya. Suara fauna bersahutan.

Ada apa gerangan?
Lalu senja merapat.
Ada yang hilang barusan?
Lalu tupai terbang melompat.
Ingin didengar jawab dari Daha di Tikungan.
Namun senja keburu tenggelam.
***

Palangka Raya, Mei 2003; Juli 2009

Dari: http://ugiborneo.blogspot.com/2010/11/di-tikungan-daha-senja-tenggelam.html

0 komentar:

Posting Komentar

Download youtube Video

ShoutMix chat widget
 

© Copyright by BERBAGI ILMU DAN INFORMASI | Template by BloggerTemplates | Blog Trick at Blog-HowToTricks